Selasa, 05 Januari 2010

Menyikapi Kaum Yahudi Secara Proporsional

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil,”
(QS Al-Mumtahanah [60]: 8).

Konflik kaum Muslim dengan non-Muslim merupakan sisi gelap sejarah kemanusiaan. Sikap tidak harmonis itu selalu disertai dengan tetesan darah dan air mata. Pemahaman teks-teks keagamaan secara parsial dan literal, menggiring orang saling bermusuhan serta memberi legitimasi untuk membenci pihak lain yang berbeda agama. Meskipun konflik antara dua negara lebih banyak muatan politik dan ekonominya, namun karena berbeda agama, maka isu menjadi kental nuansa agamanya sehingga menimbulkan solidaritas keagamaan yang tinggi, baik dari kaum Muslim maupun non-Muslim. Tanpa melihat persoalan secara detail, sikap benci dan permusuhan secara langsung ditujukan kepada seluruh komunitas agama tersebut. Dalam kasus perang antara pemerintah Israel dan Libanon, kebencian dan permusuhan secara general ditujukan kepada Yahudi. Padahal, yang berperang adalah Zionis Israel—dan tidak serta merta seluruh komunitas Yahudi menyetujui.

Konflik antara Israel dan Libanon yang baru saja berlalu terus menyedot keprihatinan dunia internasional. Peperangan, bagaimanapun yang menjadi korban adalah warga sipil, yang sesungguhnya tak tahu menahu apa yang sedang dipertikaikan antara Libanon (Hizbullah) dan Israel. Belum kerugian materi dan jiwa yang tak kecil. Semua itu semakin membuat miris dan prihatin banyak pihak, lantaran nilai-nilai luhur kemanusiaan pada intinya yang menjadi korban keganasan peperangan. Reaksi berlebihan yang mengkaitkan konflik tersebut adalah konflik agama pun hanya menambah deret permasalahan. Islam sendiri memiliki tata aturan dalam berperang, seperti tidak boleh membunuh anak-anak, orang tua, dan tumbuh-tumbuhan, serta harta benda yang dilindungi. Aturan itu sejalan dengan konvensi internasional tentang peperangan.

Permusuhan Yahudi
Dasar normatif-teologis yang sering dijadikan landasan permusuhan Yahudi—begitu pula Nasrani—terhadap kaum Muslim atau sebaliknya, kebencian kaum Muslim terhadap Yahudi adalah surat Al-Baqarah ayat 120. “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (sepanjang masa) hingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Demi, sesungguhnya jika engkau mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”

Menurut Quraish Shihab, yang perlu digarisbawahi dari ayat di atas adalah redaksinya pernyataan “tidak akan rela”. Ketika menggambarkan sikap orang Yahudi, ayat di atas menggunakan kata lan yang berarti “tidak akan untuk selama-lamanya”, sedangkan ketidakrelaan orang-orang Nasrani digambarkan dengan kata la yang berarti menafikan, tetapi tidak mengandung makna selama-lamanya. Sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan itu dimaksudkan untuk menunjukkan kemandirian sekaligus perbedaan masing-masing dari dua kelompok Bani Israil atau Ahli Kitab itu. Namun, ayat itu menunjukkan ada perbedaan antara Yahudi dan Nasrani dalam sikap mereka terhadap Nabi Muhammad Saw dan ajaran beliau.  Karena al-Quran tidak menggunakan kata Yahudi kecuali terhadap kelompok Bani Israil yang memusuhi umat Islam, maka wajar jika ayat di atas menggunakan redaksi yang menginformasikan bahwa mereka tidak akan rela untuk selama-lamanya terhadap Nabi Muhammad Saw., adapun Nasrani keadaannya tidak demikian (Tafsir Al-Misbah, Vol. I, h. 309).

Sesuai dengan konteksnya, ayat 120 surat al-Baqarah itu oleh KH Husen Muhammad diberi dua makna: Pertama, bahwa ayat itu tidak bersifat general, artinya tidak setiap orang Yahudi atau Nasrani itu membenci kita. Kedua, kalaupun mereka semua (membenci kaum Muslim), maka wajar karena mereka meyakini agama mereka sebagai agama yang akan membawa manusia kepada kehidupan yang sejahtera, bahagia dan selamat di akhirat. Karena itu sebagai manusia yang ingin bertanggung jawab maka mereka juga ingin orang lain mengikuti agama mereka. Hal ini berlaku bagi siapa saja termasuk bagi umat Islam sendiri. Menurut kita agama Islam inilah yang akan mengantarkan kehidupan masyarakat, manusia ke arah yang lebih baik, fiddun-ya hasanah wa fil-akhirati hasanah.

Ayat lain memberi peringatan kepada kaum Muslim agar hati-hati dalam menjalin hubungan dengan Yahudi dan Nasrani. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil mereka menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya,” (QS Ali Imran [3]: 118). Menurut Ibnu Jarir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan sikap orang Yahudi Bani Quraizah yang mengkhianati perjanjian mereka dengan Nabi Muhammad Saw. Rasyid Ridha menegaskan, “Larangan itu baru berlaku apabila mereka memerangi atau bermaksud jahat terhadap kaum Muslim.” (Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, 1996: 363)

Mengajak Kedamaian
Secara umum, kandungan teks-teks keagamaan dalam al-Quran ada dua, yaitu “tidak melakukan kekerasan” dan “mengajak kedamaian”. Tetapi ada teks Al-Quran dan hadits yang seakan-akan memberikan legalitas penyerangan terhadap orang-orang musyrik (Yahudi dan Nasrani, dan lain-lain), harus dipahami dalam konteksnya sendiri, yaitu dalam konteks perang dan di medan perang. Jangankan kaum Yahudi, tetangga kita sendiri yang muslim namun mengancam keselamatan jiwa dan harta kita juga wajib diperangi untuk membela diri. Teks al-Quran yang memperlihatkan makna literal kekerasan itu muncul di dalam konteks perang. Sangat tidak logis kalau teks-teks seperti itu masih juga diberlakukan pada waktu sekarang. Contoh, “...Perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa...,” (QS At-Taubah [9]: 36).

Ayat itu bukan perintah untuk membunuh Yahudi dan Nasrani dalam kondisi aman. Kalau pemaknaan kita seperti ini dan berlaku sampai hari ini, di mana ada orang Yahudi dan Nasrani lalu kita bunuh, tentu agama Islam menjadi agama perang, agama yang selalu benci kepada orang lain yang tidak seagama dengan kita. Nah ini sama sekali tidak bisa diterima oleh prinsip-prinsip Islam. Artinya, tidak ada satu pun perintah dari agama kita untuk benci dan anti kepada Yahudi maupun Nasrani. Selama mereka tidak melakukan penyerangan, kita harus mencintai mereka dan berbuat adil kepada mereka (al-birr wa al-adli). Orang Indonesia boleh saja berbisnis dengan Yahudi. Orang Palestina di Eropa menjalin kerja sama bisnis dengan Yahudi, tapi di Jalur Gaza dan Tepi Barat (Daffah Gharbiyah) mereka perang memperebutkan tanah. Jadi kita tidak boleh memahami ayat tentang Yahudi ini secara general. “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil,” (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).

Al-birr itu adalah kebaikan universal, seperti hak asasi manusia dan keadilan. para ulama berkata, “Di mana saja kamu menemukan dan menghasilkan sebuah keadilan dengan cara apa pun, maka itu adalah agama Allah, syariat Allah.” Prinsipnya, syariat Islam bertujuan mewujudkan keadilan di tengah masyarakat dan bukan problem identitas orang lain. Menurut Quraish Shihab, jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dengan Non-Muslim sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak kaum Muslim.

Orang yang melakukan kezaliman harus kita cegah, kepada siapa pun. Sangat banyak teks-teks yang menyuruh berbuat baik kepada orang lain. Pada zaman Rasulullah, ada seorang sahabat punya tetangga orang Nasrani dan Yahudi yang miskin. Sahabat itu memberi makanan. Di sini sahabat tidak melihat identitas orang, tapi melihat sisi kemanusiaannya. Bukan hanya dari sisi keagamaannya, dari sisi lain, misalnya orang yang punya identitas buruk seperti seorang pelacur juga ada teks-teks yang sangat menarik tentang suatu kebaikan yang dilakukannya dan harus dihargai sebagai kebaikan itu sendiri. wallaahu ‘alam bi ash-shawaab.

sumber : http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A2769_0_3_0_M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Islam Ornamental Art